Kamis, 15 Desember 2011

JURNALISTIK KUNING

Leave a Comment
Jurnalistik kuning lahir ketika ada pertempuran headline dua media yang berada di kota New York pada tahun 1800an, antara Joseph Pulitzer dan Wiliam Randolph Hearst. Jurnalisme Kuning memiliki ciri khas, yaitu beritanya boombastis, sensasional dan judul dibuat semenarik mungkin dengan tujuan untuk meningkatkan oplah penjualan agar berlipat-lipat. Paham atau aliran Jurnalisme Kuning ikut mewarnai dunia pers di Indonesia terutama setelah digulirnya orde baru. Terjadi eforia kebebasan pers yang kadang berlebihan dan terasa kelewatan. Headline judul dan isi berita yang disajikan terlalu fantastis dan cenderung berlebih-lebihan.
Begitu kuatnya unsur sensasionalisme dalam berita, menjadikan elemen tersebut dikenal sebagai ciri khas dari jurnalisme kuning, Selain unsur sensasionalisme dan dramatisasi dalam penulisan berita, ciri utama lainnya dari koran kuning adalah penggunaan aspek visual yang cenderung berlebihan, bahkan terkesan lebih dominan daripada teks beritanya. Aspek visual yang digunakan oleh koran kuning antara lain berupa: (1) scare-heads; headline yang memberi efek ketakutan, ditulis dalam ukuran font yang sangat besar, dicetak dengan warna hitam atau merah. Seringkali materinya berisi berita-berita yang tidak penting; (2) penggunaan foto dan gambar yang berlebihan; dan (3) suplemen pada hari minggu, yang berisi komik berwarna dan artikel-artikel sepele. Adanya teknik verbal yang melekat pada koran kuning, yakni berbagai jenis peniruan dan penipuan, misalnya cerita dan wawancara palsu, judul yang menyesatkan, pseudo-science, dan bahkan judul-judul penuh kebohongan.
Di samping menggunakan teknik-teknik di atas, koran kuning juga memfokuskan pemberitaannya pada isu-isu kontroversial yang mampu memancing perdebatan dan gosip. Isu-isu kontroversial ini sengaja diangkat untuk menarik perhatian pembaca sebanyak-banyaknya, terutama pembaca yang berasal dari kalangan kelas menegah ke bawah di perkotaan. Isu-isu yang sering memancing kontroversi ini, antara lain isu yang berkaitan dengan unsur sex, conflict, and crime (seks, konflik, dan kriminal).
Nilai berita yang mendasar seperti significance, prominence, dan magnitude, cenderung diabaikan. Karena jurnalisme kuning menonjolkan sensasionalime daripada berita (fakta) itu sendiri, maka beritanya menjadi tidak penting atau oleh sebagian pihak yang menentang kehadiran koran kuning ini disebut sebagai “berita sampah”.
Menurut Adhiyasasti & Rianto (2006, 116-117), karakteristik koran kuning di Indonesia terfokus pada halaman pertama. Terkait dengan halaman ini, setidaknya ada empat ciri yang menonjol. Pertama, pemasangan foto peristiwa kriminal dan foto perempuan dengan penekanan seksualitas tubuh perempuan. Kedua, headline berukuran besar dengan warna-warni yang mencolok, misalnya merah, biru, kuning, dan hijau. Ketiga, banyaknya item berita di halaman muka. Jika biasanya koran umum memasang 5 hingga 8 item berita, jumlah berita yang ditampilkan di halaman depan koran kuning berkisar antara 10 sampai 25 item berita. Formatnya berupa berita yang sangat singkat, bahkan kerap hanya berupa judul dan lead kemudian bersambung ke halaman dalam. Uniknya, tidak sedikit judul dicetak sedemikian besar hingga ukurannya melebihi isi berita itu sendiri. Keempat, dilihat dari iklan yang dimuat, koran kuning di Indonesia umumnya menampilkan berbagai bentuk iklan yang tergolong vulgar, kadang dilengkapi dengan foto, gambar, atau kata-kata sensasional. Iklan tersebut pada umumnya berbau seksual dan supranatural (klenik), contohnya iklan pembesar alat vital laki-laki atau payudara wanita, layanan telepon seks, pijat (message), mainan seks (sex toys), paranormal, hingga penyembuhan alternatif. Pada beberapa koran kuning, ciri-ciri di atas tidak hanya terlihat di halaman depan, namun juga berlaku untuk halaman belakang, bahkan di halaman dalam.
Contoh dari Jurnalistik kuning ialah Koran Lampu Merah yang menyajikan berita yang begitu wah. Tapi isinya belum tentu wah. Seperti, Berita tentang Penyodoman Seorang bocah yang di tulis dengan judul “Bocah Tujuh Tahun Disodomi Gurunya, Katanya Biar Pintar Berbahasa Inggris”. Di judul tersebut headline berukuran besar dengan warna yang mencolok.
Koran kuning sebagai salah satu bentuk media massa telah melakukan beberapa pelanggaran dalam etika jurnalistik. Diantaranya adalah kurang memperhatikannya kaidah – kaidah sebagai mana fungsin dari jurnalistik sendiri. Oleh karena itu, seharusnya media tersebut harus lebih profesional dalam menjalankan fungsinya. Selain itu peran dari masyarakat dan pemerintah (hukum) harus ikut andil dalam mengawasi keberadaan koran kuning yang meresahkan moral masyarakat.
Etika dan moral media tidak hanya diukur dari berapa banyak orang yang bisa menikmatinya (kuantitas), tetapi suatu moral yang luhur tidak bisa lepas dari sudut empirisnya. Dimana standarisasi kebahagiaan di ukur dari orang – orang yang berpendidikan dan berpengalaman. Selain itu media harus lebih melihat dampak dari berita yang di sampaikan, apakah lebih banyak menimbulkan dampak positif atau negatif.
If You Enjoyed This, Take 5 Seconds To Share It

0 komentar:

Posting Komentar